Cultural Festival ?? Let's learn from Fukuoka...

Dear my future grand kidzz...actually today i just wanna sleep a whole day.. but something really bothering me. It's about the youth in our hometown which seemingly threatened to lost track of their local identity. Hmm..maybe u guyz think.. what's the correlation between the title of my writing and my worries about the youth? Let me tell you, it's a lil bit academically indeed however it is not that hard to understand it ;) I'll briefly simply explain it in our lovely language then....Jadi menurut beberapa literatur yg ku baca (hanya beberapa lho yah, padahal utk menjadi seorang PhD kata mama harus baca sampe ratusan..glekglekglekk..tenggelam deh dilautan literatur) festival merupakan salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan lokal kita, menumbuhkan kebanggaan atas tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita, membuat kota tempat dimana tradisi itu berakar menjadi lebih unik di banding kota-kota lain yang sepertinya, nampaknya, kelihatannya.. sudah nyaris serupa. Dimana-mana ada high rise bulding, flyover, highway, plaza, shopping center..jiaaaaaaaaaaaaahhhh let's preserve our art & cultural tradition for the next generation and to show our difference among others city. 

Kok bisa nyimpulin kalo generasi muda di kota kita sudah nyaris kehilangan identitas budaya lokal mereka? hehehe..thanks to my lovely sista Ms.pruDILAdential yg sudah nyebarin angket penelitianku ttg festival budaya. Jawaban dari 90% responden atas pertanyaan "Menurut anda, apa saja festival budaya lokal yang terkenal di Kota Makassar"...majority of them stated : IT exhibition, festival music, fashion show, bazaar buku..ck ck ck ck....prihatin saya....Tapi setelah ditelisik, memang event-event seperti itulah yang sedang  gencar diselenggarakan sekarang. Kalo pun ada festival budaya tradisi..popularitasnya masih kurang dibanding event-event budaya modern. Sedih saya...padahal kota kita tercinta kuaaayaaaa akan aset budaya lokal..hiks hikssss...

Enough, mari bangkit!!...sekarang saatnya kita belajar dari Fukuoka tentang berbagai festival yang terselenggara di kota ini. FYI Fukuoka itu mirip dengan kota kita...water front city, letaknya yang strategis menjadikannya sebagai pintu gerbang dan pusat perdagangan, politik,budaya,etc utk tingkat lokal bahkan international dan kesamaan lainnya adalah...visi kedua kota ini sama, toward international-global city!! See..we have similarities ;) So let's learn some positive things from this city.

Take a look on their event calender, guyzz...
Dalam setahun..kota ini memiliki 17 event, yang tingkat kePASTIannya sangat tinggi sehingga dapat terselenggara setiap tahunnya. Dan yang bikin kagum tuh karena dari 17 event, hanya ada 4-5 event yg pemerintah kotanya berperan sebagai organizer and funding..selebihnya di handle oleh urban community. Eitss..pasti kalian bakal berkomentar, ya iyalahh..Fukuoka itu income perkapitanya dibanding kota kita berapa kali lipat, Fukuoka itu kota yang berada di developed country. Pleaseee deh...excuse ky' gini yang membuat kita pesimis dan malas bertindak. Wake up guyzz!!  Dimana ada kemauan dan kreativitas, pasti ada jalan...

Kota ini bahkan kota-kota lain di Jepang nampaknya sangat mendukung konsep festival based on community. Sebuah konsep festival yang lahir dari warga, di organize oleh warga dan dipersembahkan untuk warga. Nampaknya, konsep inilah yang membuat festival-festival di Jepang terjaga keberlanjutannya a.k.a sustainability nya.  

Yamakasa Gion, salah satu contoh sukses community festival di Fukuoka dan tahun ini genap berusia 772 tahun. Konon, festival ini berawal dari wabah penyakit dan kekeringan yang melanda Fukuoka, membuat seorang pendeta Budha berinisiatif melakukan upacara religi dengan memercikkan air di penjuru kota sebagai upaya pensucian. Selama melakukan ritual tersebut sang pendeta diarak keliling kota oleh sekelompok warga, yang semuanya lelaki,  menggunakan ''segakidana" semacam platform atau tandu kali ye.... By the time, pendeta yang diusung digantikan dengan Yamakasa doll or kakiyamakasa

Kakiyamakasa..Yamakasa floating Doll 
 Nah jaman dulu  kakiyamakasa tuh namanya Kazariyamakasa (tinggi16 meter dan beratnya ber ton-ton) dan ukurannya lebih besar dari yang sekarang. Pada tahun 1872..pemerintah lokal melarang festival ini diselenggarakan dengan alasan si Kazariyamakasa ini terlalu besar, ketika di arak bisa merusak berbagai infrstruktur kota dan warga kota para lelaki yang mengarak ini..semuanya naked, padahal kala itu Pemerintah Jepang tengah terobsesi dengan western modernization, jadi yah menurut para penguasa festival ini tidak layak untuk dilanjutkan. Namun..saudara-saudara (salut banget dhh) para warga melakukan social movement dan menolak keputusan pemerintah untuk menghentikan festival yang sudah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang mereka. Selama 38 tahun mereka melakukan trial and error, memperkecil ukuran kazariyamakasa dan memikirkan kostum untuk para peserta festival. Dan akhirnya pada tahun 1910, festival ini dapat terselenggara kembali...mereka menciptakan kazariyamakasa versi kecil yang di beri nama kakiyamakasa (tingginya 5-6 m dan berat hampir se ton) kemudian para peserta diwajibkan mengenakan mizzuhapi ky' coat ato baju gtu plus loincloth (ky' koteka tapi dari kain).. JUst imagine... during 15 days the festival period, u might see many  b_ _ t  whenever you walk around the city. Saat ini, festival diselenggarakan bukan sebagai ritual keagamaan lagi tapi lebih pada suatu upaya melestarikan budaya leluhur mereka.  


Kazariyamakasa...Yamakasa doll yang hanya dijadiin pejengan

What can we learn from the history of Yamakasa? Kita memiliki tanggung jawab moral untuk mewariskan kekayaan budaya yang kita miliki untuk anak cucu kita kelak agar mereka tidak kehilangan identitas mereka sebagai warga Kota Makassar. That's why my grandkidzz..ur future granny worries..takut kalo kalian tidak bisa lagi menyaksikan festival phinisi, takut kalo kalian tidak sempat mengagumi Sandeq Race Festival dan masih banyak lagi kekayaan seni dan budaya tradisi kita yang belum terekspos.

Let's move on and find out.. how they organize this festival. Meski festival ini di organize oleh community tapi jangan salah..mereka sangat PROfesional menangani event yang ternyata merupakan salah satu festival terbesar di Jepang. Organisasi kepengurusan festival ini berdasarkan konsep nagare (kalo d kita semacam kecamatan). Tiap nagare bertanggung jawab untuk mengatur semua hal terkait kelancaran festival ini. Tobancho adalah jabatan tertinggi di tiap nagare dan diganti setiap tahun, mereka bertindak lanyaknya supervisor yang memantau dan memastikan kelancaran persiapan festival di nagare masing-masing kemudian saling berkoordinasi dengan nagare lainnya. Tobancho dibantu oleh beberapa supervisor yang posisinya lebih rendah. Tiap supervisor  memiliki tugas yang berbeda diantaranya mengatur biaya atas berbagai kebutuhan festival,  mengatur arus lalu lintas (berhubung aktivitas utama dari festival ini yaitu lomba lari antar nagare dengan mengusung si kakiyamakasa mereka masing-masing, otomatis harus menutup beberapa badan jalan). Mereka yang mengusung kakiyamakasa inilah yang di struktur kepengurusan posisinya paling rendah, namanya wakate, jumlahnya ratusan. Oh iyah..satu hal yang bikin nambah kagum, rute yang dilalui untuk acara puncak yakni Oiyamakasa atau balapan antar nagare (mereka startnya jam 4.59 pagi) merupakan rute yang sama sejak festival tersebut pertama kali diselenggarakan pada tahun 1241. Kushida Shrine sebagai starting point dan Mawari dome sebagai goal point. They really maintain the originality of this festival..

The participant or wakate..(pic by Pak Buya Rendra..arigato)
Your granny very impressed with the budgeting system of this festival. Setiap nagare bertanggung jawab atas pembiayaan selama festival berlangsung. Bisa dibayangkan darimana budget untuk kostum ratusan peserta, anggaran konsumsi mereka selama 15 hari, biaya untuk membuat kakiyamakasa dan kazariyamakasa..dari mana coba??? Nagare itu ibaratnya kecamatan, nah tau sendiri kan warga tiap kecamatan itu jumlahnya bisa ribuan. Para pengurus serta peserta festival yang merupakan warga dari nagare tersebut mengumpulkan dana dengan menarik simpati warga yang tidak terlibat langsung. Sumbangan dari warga pun beragam ada yang berupa fresh money, jasa (seperti ngasi bahan untuk kostum peserta untuk yamakasa doll atau para wanita yang bantu memasak selama festival) bahkan bahan makanan untuk para peserta. Hmmm...beruntunglah nagare yang lokasinya berada di pusat bisnis, artinya warga mereka adalah para pengusaha yang bisa dipastikan akan mengucurkan bantuan lebih besar tapi yhh gitu dh dalam bentuk sponsorship atau kasarnya, pasang logo kami di atribut festival ;P.


Pose di depan kazariyamakasa, para wakate berkostum
 putih mengapit seorang supervisor (pic by Pak Buya Rendra)
What could we learn from the organizational concept of  Yamakasa festival? Festival ini membuat hubungan antar warga semakin kuat, mereka harus bekerjasama demi suksesnya event tersebut. Selain itu, festival based on community juga mampu meningkatkan kapabilitas warga..empowering the community, memupuk kreativitas mereka dengan memanage sebuah event. Dan yang terpenting, festival tersebut akan terjaga konsistensi pelaksanaannya karena warga merasa memiliki festival tersebut, sehingga generasi selanjutnya juga akan tetap menikmati kekayaan budaya warisan nenek moyang. Gak bakalan deh ada alesan, maap..festivalnya tahun ini tidak terlaksana karena anggaran dari pusat tidak cukup atau anggarannya dialokasikan untuk kegiatan yang lebih penting. No Way ;P

Festival ini sudah diperkenalkan sejak dini demi memupuk
kecintaan dan rasa bangga terhadap budaya lokal (pic by Pak Buya Rendra)

Wakate cilik sedang beraksi..mereka nampak bersemangat
padahal persiapan puncak festival ini dimulai di pagi buta (pic by Pak Buya Rendra)


here's the summary of Yamakasa festival (pic by Takashi Hatu)

Don't U think festival based on community is a nice concept to preserve our local culture.. our identity ? Let's propose some traditional art and cultural  that can be develop as community festival... Makassar bisa tonji !! ;)


























































































































Komentar

  1. Hahaha saya aja gak pernah tuh kak ndin liat festival phinisi, gmn generasi2 selanjutnya coba?? ehh tapi kok cuma satu festival aja yg diceritain?? kapan-kapan semua festival lainnya ditulis juga yah kak ndin hehe.. Nice writing, semoga meningkatkan kesadaran generasi muda ttg budaya lokal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Festival Phinisi itu sbnrx di Bulukumba, kepikiran sj utk melaksanakannya di Makassar sprti konsepx sandeq race spy lbh gampang terakses. Makassar kan dihuni multi etnis yh jd setidakx eventx bisa merepresent budaya etnis2 tsb. Seru kan kalo Ada Gandrang Bulo Championship atau Festival 4 Etnis yg kegiatannya mulai dr parade, pameran makanan tradisional Dan battling art perform 4 Etnis.

      Hapus
  2. woww kren yaahhh..kpn yaah di mks bisa bikin festival kyk gtu..nntony tuh pling yg di bon,tpi itu jg kasian generasi mudany pda g trtarik..gmna ya klo di mks apa mreka msih mau brprtisipasi dlm event2 kebudayaan kita...sdih jg rsany,.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kunjungan ke Pabrik Mentaiko

............... My first " Undokai".....................